Gusmarni Zulkifli

Gusmarni Zulkifli
Hidup merupakan pilihan

Minggu, 15 April 2012

Sajak Kasih Untuk Anakku

 

Teruntukmu anakku,

malam mungkin bosan mendengar keluh

yang terlihat hanya buram

  bintangpun enggan bersembang

dilangit sana

sementara sunyi menekan jiwa

Nak,

ini mungkin yang pertama untukku,

dan awal bagimu

tak banyak lagi waktu kita

bahkan tinggal sisa detiknya saja

pakailah perisai di badanmu

waktunya untuk maju

jangan kau ragu

Wahai  anakku,

esok bila kelam itu berganti terang

tersenyumlah

kita lerai gundah

ambil darinya faedah

jangan biarkan takut berumah singgah

hati kita terlalu kuat untuk menyerah

tempias ilmu yang sampai di hatimu

jadikan ia perhiasan laku

jangan biar terbuang percuma

Tanjungpinang, 15 April 2012

Kamis, 12 April 2012

PERSIAPAN UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENEGAH PERTAMA PELITA NUSANTARA


Nini Kumala, guru Bahasa Indonesia SMP Pelita Nusantara

Ujian Nasional (UN) tinggal hitungan hari. Untuk tingkat SMA, UN akan diadakan 16 April, sedangkan untuk tingkat SMP 23 April. Berbagai persiapan telah dilakukan. Misalnya saja di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pelita Nusantara. Pihak sekolah telah memiliki trik-trik khusus untuk menjaga kelulusan agar tetap seratus persen.
Tahun lalu sekolah swasta ini mampu meraih peringkat ketiga kelulusan terbaik di tingkat Kota Tanjungpinang. Peringkat pertama di raih oleh Sekolah Juwita, sedangkan peringkat kedua Pesantren Al Kausar. Hal ini dijadikan acuan untuk lebih baik lagi di tahun ini.
Berbagai usaha dilakukan pihak sekolah. Misalnya menyelenggarakan terobosan sejak bulan Januari lalu. Mengadakan try out ( Uji coba UN) sebanyak tiga kali. Menambah jam pelajaran, khususnya mata pelajaran UN.
Selain itu sekolah ini juga mengadakan kelas khusus untuk siswa-siswa yang memiliki daya serap yang rendah. Ini bertujuan untuk dapat merangkul semangat siswa-siawa tersebut. Selain itu juga agar mereka siap bersaing dengan siswa lain.
“ ini kebijakan dari sekolah, kan tidak semua anak memiliki daya tangkap yang baik. Jadi mereka yang kurang, kita bina di kelas khusus ini,” ujar Liestra Munthe Wakil Kepala Sekolah SMP Pelita Nusantara, ketika kami temui di ruangannya.
“Hal ini terbukti memilik pengaruh. Kami memulai kelas khusus itu setelah melihat hasil try out pertama dari sekolah yang kurang memuaskan. Kemudian kami bentuklah kelas khusus. Hasil try out kedua yang diadakan sekolah, nilainya lebih bagus dibanding yang pertama,” paparnya lagi.
Liestra juga menambahkan, cara ini dilakukan sekolah atas kesepakatan guru dan wali murid. Demi kebaikan bersama, dan tujuan akhir yaitu kelulusan seratus persen.
Upaya yang dilakukan sekolah untuk mencapai kelulusan seratus persen, juga memiliki kendala.  Misalnya saja kejenuhan yang dirasakan siswa. “ kadang anak-anak jenuh juga belajar, apalagi sekolah ini jam sekolahnya lebih lama dibanding sekolah lain,” ujar Nini Kumala.
 Sebagai guru Bahasa  Indonesia, Nini merasa kejenuhan yang dihadapi siswa-siswanya. Namun guru yang satu ini memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya. Misalnya mencoba beberapa metode pengajaran, sehingga anak murid tidak jenuh.
“ selain penguasaan materi, kesiapan fisik dan mental juga penting. Anak-anak kadang gugup juga menghadapi UN itu. Ini juga bisa berakibat fatal nantinya. Tapi kita berusaha untuk membangun kepercayaan diri mereka. Ini butuh kerjasama dengan orang tua juga,” ujar Nini menjelaskan.
Pihak sekolah juga mendatangkan motivator dari Jogyakarta, untuk memberikan motivasi untuk anak-anak. “ mudah-mudahan ini berhasil membuka pikiran anak-anak, agar mereka mau berusaha lebih keras lagi untuk mengadapi UN,” tambah Nini.(Gusmarni)




Kamis, 29 Maret 2012

FEATURE_ MERAJUT MIMPI DI ANTARA RONGSOKAN


MERAJUT MIMPI DI ANTARA RONGSOKAN
Oleh : Gusmarni Zulkifli

Masih ingat kah Anda dengan Film Laskar Pelangi? Film yang fenomenal pada 2008 lalu. Film ini mengisahkan tentang anak pedalaman Bangka Belitung yang memiliki banyak kegetiran hidup, namun akhirnya bisa berhasil menembus benua Amerika.
Kisah Ikal dalam film itu, tak jauh berbeda dengan kisah hidup Wulan (12). Kepahitan hidup telah menempanya untuk menjadi seorang pemulung. Hal ini harus dilakoninya demi kelangsungan hidup dan kelangsungan sekolahnya.
Bel tanda pulang sekolah baru saja berbunyi. Suasana SD 001 Seri Kuala Lobam itu masih tampak riuh. Sebagian siswa-siswanya asyik bersenda gurau menikmati kebebasan pulang sekolah. Namun ada yang berbeda, seorang siswa dengan seragam lusuh, tampak buru-buru meninggalkan sekolah.
          Namanya Siti Budianingsih Wulandari. Ia lahir di Teluk Sasah 22 Maret dua belas tahun yang lalu. Terlahir sebagai anak pertama dari pasangan Budi (33) dan Karmila (53). Hal ini membuat dia agak berbeda dari anak-anak lain yang seusianya.
          Bagi Wulan, pulang sekolah bukan berarti datangnya waktu bermain. Dia masih harus membantu ibunya bekerja. Tak hanya pekerjaan rumah, tetapi ia juga harus mengumpulkan barang-barang rongsokan di daerah sekitar rumahnya.
          “ Aku harus bantu mamak nyari kardus-kardus bekas dan kaleng bekas minuman. Kalau nggak gitu gimana mau makan, apalagi buat keperluan sekolah”, ujarnya di sela-sela pekerjaannya. Tangan mungilnya tampak begitu telaten melipat kardus-kardus bekas yang di ambilnya di depan sebuah toko.
“ Kadang kepengen juga main sama kawan-kawan, tapi gimana lah ntar ngak ada yang bantuin mamak.” Ujarnya lagi, dengan wajah yang tak terlihat murung.
Wulan yang duduk di kelas 6 SD itu, memang gadis yang rajin. Dia tak pernah malu untuk mengumpulkan barang-barang rongsokan. Meski terkadang kawan-kawan sekolahnya banyak yang mencemooh.
“ Bapaknya Cuma buruh angkat kayu di hutan. Sebulan sekali baru pulang. Gajinya ngak nentu. Ini aja dah dua bulan ngak gajian.” Terang ibu Wulan, Karmila (53) di rumahnya yang terletak di Lobam Bestari kecamatan Seri Kuala Lobam.
Rumah papan yang berukuran 9 X 7 inilah yang menjadi tempat tinggal keluarga kecil itu sejak lima belas tahun yang lalu. Atapnya sudah banyak yang bocor, kadang kalau musim hujan mereka tak punya tempat berlindung.
Nasib keluarga ini memang malang. Kesulitan ekonomi selalu mengikat mereka. “Saya mulung sudah lebih kurang lima belas tahun.penghasilan perbulannya, tak tentu. Kadang dua ratus ribu, kadang seratus lapan puluh ribu. Paling banyak tiga ratus ribulah. Tapi sekarang sudah susah. Sudah banyak saingan. Saya sering keduluan mereka.” Ujar Karmila panjang lebar.  
          ANAK PEMULUNG YANG INGIN JADI DOKTER
          Meski hanya seorang pemulung, Karmila tetap mementingkan pendidikan untuk kedua anaknya. Dia tak ingin anaknya nanti mempunyai nasib yang sama sepertinya. Namun sepertinya itu hanya tinggal harapan saja. Masalahnya di usiannya sekarang Karmila sudah sering sakit-sakitan. Sehingga dia sudah susah untuk bekerja.
          “ Kalau hanya ngandalin gaji bapaknya, ngak akan cukup. Buat makan aja kurang, gimana buat sekolah anak-anak. Apalagi sekarang Wulan sudah kelas 6, bentar lagi lulus. Buat nyambung sekolah ke SMP, duitnya belum ada.” Tambah Karmila dengan logat jawanya yang masih kental.
          Wulan seakan faham dengan semua kesulitan yang dialami orang tuanya. Makanya ia selalu membantu ibunya setiap pulang sekolah. Bahkan Wulan sudah melakoni kegiatan itu sejak ia duduk di bangu TK.
          Meski pekerjaan itu telah menyita waktu bermainnya, Wulan tak pernah bersedih. Itu justru membuat hidupnya lebih dewasa dibanding kawan-kawannya yang lain.
          Di sekolah Wulan memang tak terlalu menonjol. Namun ditengah kesibukannya membantu ibunya mencari nafkah, ia masih bisa mengantongi rangking 8 pada semester lalu. Ini merupakan suatu prestasi yang lumayan membanggakan.
          “ Aku ngak mau berhenti sekolah. Aku pengen lanjutin ke SMP N 1 Pasar Baru Tanjung Uban. Pengen sekolah sampai tinggi. Aku pengen jadi dokter,” ujar Wulan sambil tersenyum ketika ditanya tentang cita-citanya. Tampak tak ada beban ketika dia mengucapkan hal tersebut.
          Cita-cita itu memang sudah diimpikannya sejak lama. Bahkan sejak ia kenal dengan kata cita-cita. Namun sepertinya Wulan sangat sadar dengan kondisi keluarganya. Tapi hal itu tak menjadi penghalang baginya untuk tetap teguh pendirian mengejar cita-citanya. Dia memang memiliki semangat yang luar biasa.
          “ Kalau nanti aku terpaksa putus sekolah, karena ngak da biaya ya tak apalah. Aku akan kerja lebih giat lagi biar bisa nyekolahin Rio,” Ujar Wulan penuh haru. Rio (6) merupakan adik Wulan satu-satunya.      
“Aku harus belajar lebih giat lagi, mana tahu nanti bisa dapat bantuan buat sekolah.” Ujar Wulan penuh harap. Memang sejauh ini Wulan dan ibunya belum pernah dapat bantuan kurang mampu. Baik itu dari sekolah, maupun dari pemerintahan setempat.
          “ Kami Cuma dapat bantuan raskin aja. Bantuan lain-lainnya ngak ada. Kemarin tuh ada orang berseragam dinas datang ke rumah saya. Katanya mau data untuk dapat bantuan, tapi sampai sekarang pun belum ada.”  Kenang Karmila lagi.
          Wulan mungkin hanya satu dari ribuan anak-anak lain yang harus berjibaku melawan kerasnya hidup. Dan kita hanya sebagai penonton yang setia.
Dalam semua keterbatasan Wulan, dia tak kenal putus asa. Dengan segala upayanya dia tetap ingin melanjutkan sekolah. Akan kah kita biarkan ia tertatih dalam pencapaian hidupnya seperti ini? Sejauh mana lagi ia mampu bertahan untuk tetap meraih cita-citanya? Entahlah, mudah-mudahan ada tangan –tangan dermawan yang sudi berbagi dengannya. Semoga saja. ( Gusmarni_Praktek Jurnalistik)

Rabu, 21 Maret 2012

BADAI HANTAM TEPI LAUT




TANJUNGPINANG-Badai menghantam tepi laut Tanjungpinang Minggu (18/03).  Sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Angin kencang disertai hujan deras dan petir yang bersahut-sahutan.
Awalnya kelihatan masih cerah. Tak ada tanda-tanda akan datang hujan, apalagi badai. “ orang tadi masih cerah kok, paling Cuma berselang dua puluh menit. Langit gelap, angin kencang bertiup dari arah laut,” ujar Ujang (26).
Seorang penjual bandrek menyanggah gerobaknya agar tak terbawa angin.
Menurut penuturan penjual bandrek satu ini angin kencang seperti ini sudah biasa melanda Tanjungpinang, terutama tepi laut. “ mungkin karna di tepi laut, jadi anginnya terasa kencang sekali,” tambahnya lagi.
            Badai yang melanda tepi laut ini memporak porandakan kursi-kursi penjual bandrek di tepi laut. Namun tak ada kerugian dari bencana ini. “ Biasalah begini, mungkin factor alam juga kali ya, karena di tepi laut,” terang Ujang sambil merapikan dagangannya. ( Ani_Praktek Jurnalistik)



Selasa, 20 Maret 2012

FISIK BOLEH KURANG, SEMANGAT TETAP GARANG





Krekkk, kreeekkk,. Terdengar bunyi pintu di buka dari dalam. Dari kaca pintu terlihat seseorang membuka pintu dengan menggunakan kakinya. Suasana rumah yang bernuansa klasik itu, terlihat lengang. Seorang wanita paruh baya, berdiri di ambang pintu. Perawakannya tinggi, namun di bahunya tampak kosong. Tak ada tangan terjuntai di sana.
Senyum ramahnya mencairkan suasana malam itu.  Nihaya baru saja menyelesaikan shalat Magrib. Masih terlihat sisa-sisa wudhu di wajah ramahnya.
Ruang tamu rumah tua itu terlihat rapi dan bersih. Di dinding terdapat beberapa kerajinan yang di buat oleh Nihaya. Misalnya saja rajutan yang bermotifkan Mesjid Nanggro Aceh Darusalam. Rajutan itu terlihat menawan meski dikerjakan dengan kaki, bukan tangan.
Nihayah Binti Abu Bakar (53) Terlahir di Tanjungpinang pada 2 Juni 1959, memang wanita yang luar biasa. Keterbatasan telah membuatnya kuat. Ia terlahir dengan kondisi tanpa kedua tangannya, namun hal itu tidak membuatnya gentar menghadapi dunia. Ia bahkan bisa meraih prestasi melebihi orang yang berfisik sempurna.

Sempat Menjadi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Riau
          Awalnya orang tua Nihaya tidak mau menyekolahkannya, dengan alasan takut kelak ia akan menjadi bahan ejekan teman-temannya di sekolah. Namun Nihaya kecil terus membujuk orang tuanya, “ paling mereka hanya seminggu ngejekin saya, nanti mereka juga capek sendiri” katanya waktu itu. Akhirnya orang tuanya pun menuruti, dia disekolahkan di SD Negeri 8 Tanjungpinang.
Setelah menamatkan SD, orang tuanya kembali melarang Nihaya untuk melanjutkan pendidikan. Menurut mereka waktu itu, sekedar tulis baca saaja sudah cukup, mengingat kondisi Nihaya yang tidak memungkinkan. Akan tetapi Nihaya mendaftarkan diri secara diam-diam ke SMP Negeri 2 Tanjungpinang.
“ Sampai kapan saya harus bergantung kepada orang lain, kalau tak sekolah bagaimana saya bisa mandiri nantinya?” ujar Nihaya menambahkan. Pada 1978, ia menyelesaikan pendidikan di SMP. Nihayah lalu melanjutkan pendidikannya ke SMA Negri 1 Tanjungpinang, dan lulus pada tahun 1981.
          Dari sana, Nihayah yang haus akan ilmu mencoba peruntungannya di Pekanbaru. Dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Ekonomi dengan jurusan Ekonomi Pembangunan, Universitas Riau (UNRI).
          Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Pada semester awal kuliahnya di Pekanbaru, Ayahandanya tercinta Abu Bakar di panggil Sang Pemilik Hidup. Beliau meninggal ketika Nihaya baru saja menikmati perannya sebagai mahasiswi, padahal Sang Ayah adalah mata air kehidupan keluarga serta penyanggah utama ekonominya saat itu.
          Setelah kepergian ayahnya, Nihaya sangat terpukul. Ia terpaksa mengubur mimpi indahnya tentang nikmatnya pendidikan. Ia memutuskan untuk kembali ke Tanjungpinang, menemani ibu tercinta.
          “ Ibu saya mulai sakit-sakitan saat itu, saya tak tega meninggalkannya, beliau sangat mengkwatirkan saya sendirian di Pekanbaru dengan kondisi begini. Jadi saya memutuskan untuk meninggalkan kuliah, meski baru jalan semester pertama,” kenangnya malam itu.
          Namun hal itu tidak mengurangi semangat Nihaya untuk hidup mandiri. Dengan bekal ilmu yang di perolehnya di UNRI, dia mencoba bisnis jual beli pakaian dan peralatan rumah tangga secara kredit. Barang itu di belinya di Singapura, dan dijual secara kredit di Tanjungpinang.

Aktris KEPRI Peraih Nominasi Piala Citra
Rajutan hasil karya Nihaya yang dikerjakan dengan kaki
        Pada 1992, Nihaya di ditawarkan untuk bermain film oleh sutradara Galeb Husin. “ Kebetulan saat itu, beliau sedang mengangkat kisah seorang penderita kangker payudara. Untuk memerankan film itu, Abang Galeb  memiliki inisiatif untuk langsung mengusulkan pada produser mengambil perameran asli. Maka ia pun menghubungi saya.”
          Kemudia Galeb merekam aktivitas keseharian Nihaya. Rekaman itu di ke Jakarta, untuk di tunjukan pada produser. Alhasil, produser pun tertarik, kemudian Nihaya dibawa ke Jakarta.
          Nihaya yang tidak memiliki dasar dunia acting, mengaku mengalami sedikit kesulitan. Namun karena sifatnya yang pantang menyerah akhirnya, Nihaya berhasil menjalankan perannya dengan baik. Dan tak sedikit pujian mengalir padanya.
          “ Film pertama itu berjudul Ku Berikan Segalanya. Saya berperan sebagai Anisa,” kenangnya. Di film itu Nihaya beradu peran dengan artis papan atas negeri ini, misalnya Rano Karno, Dedi Mizwar, dan Paramitha Rusadi.
Bagi mereka yang tumbuh pada awal era 1990-an , film ini tentu tidak asing lagi. Digarap oleh sutradara handal Galeb Husin, film ini berhasil mendapat 12 nominasi Piala Citra. Film ini juga di putar dalam festifal flm internasional di Singapura, dan memdapat penghargaan “ The Most Humanistic Film 1992” di Tokyo Jepang.
Setelah sukses membintangi flm “Ku Berikan Segalanya,” Nihaya terus mengibarkan sayapnya di dunia seni peran. Dia kembali membintangi film yang berjudul “Bunda Tersayang”. Film ini diputar secara bersambung di SCTV pada 1996. Setelah itu Nihaya memutuskan untuk pensiun dari dunia acting.


Mendirikan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Al – Hikmah
        Kepedulian Nihaya terhadap pendidikan Al-Quran sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan kiprahnya mendirikan TPA Al – Hikmah di mesjir Raya Al Hikmah Tanjungpinang pada 30 Agustus 2009.
          Awalnya Nihaya merasa prihatin karena tidak adanya TPA di salah satu mesjid besar di Tanjungpinang itu. Apalagi mesjid itu sudah memiliki Taman Kanak-Kanak (TK). “ Sayang jika tidak ada TPA, kan anak-anak juga butuh itu,” terang Nihaya.
          “ Saya ingin anak-anak kita mendapat pendidikan Al – Quran sejak dini. Hal ini bertujuan agar anak-anak memiliki kecintaan terhadap Al- Quran,” ujar Nihaya ketika ditanya alasannya mendirikan TPA Al-Hikmah. Saat ini ada sekitar 121 santri yang belajar di sana.
          “ Dari kecil saya memang bercita-cita jadi guru. Meski tak bisa jadi guru di sekolah, setidaknya saya bisa berbagi ilmu yang bermanfaat dengan orang lain.” Tambah Nihaya lagi.
          Saat ini Nihaya tidak hanya mengajarkan anak-anak membaca Al-Quran, tapi ia juga memupuk kecintaan anak-anak terhadap kesenian Marawis. “ kalau anak-anak yang main marawis, itu lebih semangat mukulnya. Mereka masih fres, dan bersemangat, jadi ngak ada salahnya kita arahkan” jelasnya.
          Selain         sibuk di TPA, Nihaya juga menyempatkan diri untuk melakukan aktifitas social lainnya. Misalnya ketika musim kurban tiba, Nihaya mengerahkan keluarga besarnya untuk berkurban di perkampungan miskin di sekitar Bintan. Tidak hanya itu, melalui jaringan keluarga besarnya di Singapura ia juga menggalang dana untuk membangun mesjid di perkampungan miskin tersebut.
          Itulah jejak perjalanan hidup yang dilukis Nihaya Binti Abu Bakar. Keterbatasan fisiknya tidak menjadi hambatan untuk maju. Bahkan dari sana kita bisa belajar memanfaatkan hidup dengan baik. Terkadang dalam ketidaksempurnaan manusia mampu melakukan hal-hal yang belum tentu mampu dilakukan orang lain. (Ani_Praktek Jurnalistik)
         

Sabtu, 17 Maret 2012

BUNG TOMO BAKAR SEMANGAT PEMUDA SURABAYA


SURABAYA- Bung Tomo bakar semangat ribuan pemuda yang memadati lapangan Benteng Surabaya, Jumat (10/10). Dengan semangat berapi-api dan suara lantang ia menghimbau Pemuda Surabaya untuk membuktikan pada Tentara Inggris, bahwa Bangsa Indonesia benar-benar ingin merdeka.
Dalam orasinya Bung Tomo menegaskan, bahwa kita Bangsa Indonesia harus bersatu melawan penjajah. “ Pada pertempuran lampau, masyarakat Surabaya dan sekitarnya, pemuda Sumatra, pemuda Sulawesi, pemuda Aceh telah menunjukan satu pertahanan. Kini kita harus bersatu, agar kita sulit ditembus,” ujarnya seraya tangan mengepal ke udara.
Ribuan pemuda Surabaya semakin bersemangat ketika teriakan merdeka di lontarkan Bung Tomo. “ Kita ini bangsa yang besar, tundukkan Kompeni, kalahkan tentara Inggris. Kita harus menjaga kehormatan Bangsa Indonesia. Tunjukkan pada tentara Inggris, bahwa kita Bangsa Indonesia benar-benar ingin merdeka. Merdeka atau mati,” tegas Bung Tomo yang disambut teriakan merdeka Pemuda Surabaya.
Antusias pemuda Surabaya sangat tinggi. Hal ini terlihat ketika cuaca panas siang itu tak menjadi soal bagi mereka untuk tetap berdiri di lapangan hingga Bung Tomo usai berorasi. Orasi yang berlangsung satu jam itu, berjalan lancar dan aman. Ketika Bung Tomo selesai berorasi, masa bubar dengan tertip. (Ani_Praktek Jurnalistik)

WISATA RELIGI BONUS SEJARAH


Mesjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat

Angin semilir menyapa ketika perahu kecil bermesin yang bernama pompong itu melaju menuju Pulau Penyengat. Sekitar 15 menit perjalanan dari pusat kota Tanjungpinang. Di perjalanan kita bisa menikmati indahnya laut Tanjungpinang.
Dari jauh sudah terlihat kubah mesjid Sultan Riau, atau yang biasa disebut mesjid Pulau Penyengat. Suatu pemandangan yang memadukan antara keindahan alam dan tingginya nilai religi masyarakat sekitar.
Ketika menginjakan kaki di Pulau Penyengat, maka kekaguman kita akan semakin tinggi. Terutama pesona Mesjid Sultan Riaunya, belum lagi keramahan penduduk setempat. Serta beberapa situs sejarah lainnya yang terdapat di pulau ini.
Mesjid Putih Telur
Pulau Penyengat ini merupakan mas kawin (mahar) yang di berikan oleh Sultan Mahmudsyah kepada Istrinya Engku Putri atau Raja Hamidah, pada tahun 1805. Saat itulah awal pembangunan Mesjid Sultan Riau. Hanya waktu itu bangunannya masih memakai kayu.
Pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Raja Abdurahman pembangunan mesjid dilakukan secara besar-besaran. Saat itu setelah melakukan shalat Ied, 1 Syawal 1284 H (1832 M) beliau menghimbau masyarakat untuk bergotong royong membangun mesjid Sultan Riau tersebut.
Semua warga pun berbondong-bondong , bahu membahu merenovasi mesjid yang luasnya sekitar 54 X 32 meter itu. Warga Penyengat juga mengumpulkan bahan makanan untuk pembangunan mesjid.
Salah satu bahan makanan yang di kumpulkan adalah telur. Karena banyak sisa telur yang tak terpakai, maka oleh para pekerja putih telur itu dijadikan campuran bahan bangunan. Menurut mereka putih telur mampu menjaga agar bangunan awet dan tahan lama. Kaarena itulah,  Mesjid Sultan Riau sering juga di sebut Mesjid Putih Telur.

Arsitektur yang Sarat Makna
Mesjid indah nan menyimpan nilai sejarah ini, arsitekturnya bernuansa ala India. Ini dikarenakan tukang yang membuat mesjid ini  adalah orang-orang india yang didatangkan dari Singapura.
Mesjid ini mempunyai 17 bubung, angka 17 bermakna jumlah rakaat shalat. Ada 13 kubah berbentuk bawang yang disusun secara bervariasi. Selain itu terdapat 4 pilat beton dibagian tengah.
Mesjid ini juga memiliki 4 menara yang tingginya 19 meter. Dulu di menara inilah muazin mengumandangkan azan. Tapi kini sudah digantikan pengeras suara yang dipasang pada keempat menara tersebut.
Dibagian luar mesjid terdapat 2 rumah  sotoh, yaitu rumah tempat persinggahan para musafir. Sedangkan di bagian depan berdiri dua balai-balai yang digunakan untuk musyawarah.
Saat pertama dibangun mesjid ini berwarna putih. Namun sekarang sudah di cat dengan warna kebesaran melayu yaitu kuning, dan dipadukan dengan warna hijau sebagai warna kebesaran islam.
Pada bagian dalam, ruangan mesjid ini memiliki 5 ruangan. Ini menandakan jumlah rukun iman. Sedangkan 4 tiang beton yang menyanggah dibagian dalam mengandung makna bahwa Islam memiliki 4 Mazab yang di yakini. Yaitu; Mazab Hambali, Maliki, Safii dan Hanafi.
Selain itu, 4 tiang beton itu juga mengandung makna isi gurindam dua belas karya Raja Ali Haji. Yaitu pasal pertama yang berbunyi, “ Barang siapa mengenal yang empat, maka dia itulah orang yang ma’rifat”
Mesjid yang berukuran 54 X 32 meter, dan memiliki bangunan induk seluas 29,3 X 19,5 meter ini tercatat sebagai mesjid pertama di Indonesia yang memiliki kubah. Hal ini disebutkan dalam 2 kali Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995)
Selain arsitektur yang unik dan syarat makna, mesjid kebanggaan masyarakat Pulau Penyengat ini juga menyimpan Al Quran tulisan tangan. Al Quran itu di pajang pada lemari kaca di dalam mesjid. Al Quran bersejarah itu, di tulis oleh putra Pulau Penyengat yaitu Abdurrahman Stambul. Ia dikirim untuk belajar agama ke Turki pada 1867.
Selain Mustaf yang di tulis oleh Abdurrahman, ada lagi Mustaf Al Quran tulisan tangan Abdullah Al Bugisi yang di tulis pada 1752. Mustaf ini memiliki keunikan, yaitu pada bingkainya terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Al Quran dalam bahasa melayu.
Sayangnya, Al Quran itu, sudah tak dapat di perlihatkan lagi, karena sudah terlalu rapuh dan rentan kerusakan. Ia tersimpan rapi dalam lemari di sisi kanan depan mesjid. Dalam lemari ini juga terdapat 300-an kitab, termasuk kitab kuning.

Mesjid Sultan Riau memang menyimpan nilai sejarah yang luar biasa. Mengunjungi mesjid ini, selain bisa menanam pahala, kita juga bisa menilik sejarah Pulau Penyengat  yang menarik untuk di ketahui. (Ani_Praktek Jurnalistik)