Melukis Waktu, Mengingat Lupa
Aku mencoba melukis kata untuk mengingat sebuah kisah
Gusmarni Zulkifli
Minggu, 15 April 2012
Kamis, 12 April 2012
PERSIAPAN UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENEGAH PERTAMA PELITA NUSANTARA
Nini Kumala, guru Bahasa Indonesia SMP Pelita Nusantara |
Ujian Nasional
(UN) tinggal hitungan hari. Untuk tingkat SMA, UN akan diadakan 16 April,
sedangkan untuk tingkat SMP 23 April. Berbagai persiapan telah dilakukan.
Misalnya saja di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pelita Nusantara. Pihak sekolah
telah memiliki trik-trik khusus untuk menjaga kelulusan agar tetap seratus
persen.
Tahun lalu
sekolah swasta ini mampu meraih peringkat ketiga kelulusan terbaik di tingkat
Kota Tanjungpinang. Peringkat pertama di raih oleh Sekolah Juwita, sedangkan
peringkat kedua Pesantren Al Kausar. Hal ini dijadikan acuan untuk lebih baik
lagi di tahun ini.
Berbagai usaha
dilakukan pihak sekolah. Misalnya menyelenggarakan terobosan sejak bulan
Januari lalu. Mengadakan try out ( Uji coba UN) sebanyak tiga kali. Menambah
jam pelajaran, khususnya mata pelajaran UN.
Selain itu
sekolah ini juga mengadakan kelas khusus untuk siswa-siswa yang memiliki daya
serap yang rendah. Ini bertujuan untuk dapat merangkul semangat siswa-siawa
tersebut. Selain itu juga agar mereka siap bersaing dengan siswa lain.
“ ini kebijakan
dari sekolah, kan tidak semua anak memiliki daya tangkap yang baik. Jadi mereka
yang kurang, kita bina di kelas khusus ini,” ujar Liestra Munthe Wakil Kepala
Sekolah SMP Pelita Nusantara, ketika kami temui di ruangannya.
“Hal ini
terbukti memilik pengaruh. Kami memulai kelas khusus itu setelah melihat hasil
try out pertama dari sekolah yang kurang memuaskan. Kemudian kami bentuklah
kelas khusus. Hasil try out kedua yang diadakan sekolah, nilainya lebih bagus
dibanding yang pertama,” paparnya lagi.
Liestra juga
menambahkan, cara ini dilakukan sekolah atas kesepakatan guru dan wali murid.
Demi kebaikan bersama, dan tujuan akhir yaitu kelulusan seratus persen.
Upaya yang
dilakukan sekolah untuk mencapai kelulusan seratus persen, juga memiliki
kendala. Misalnya saja kejenuhan yang
dirasakan siswa. “ kadang anak-anak jenuh juga belajar, apalagi sekolah ini jam
sekolahnya lebih lama dibanding sekolah lain,” ujar Nini Kumala.
Sebagai guru Bahasa Indonesia, Nini merasa kejenuhan yang dihadapi
siswa-siswanya. Namun guru yang satu ini memiliki cara tersendiri untuk
mengatasinya. Misalnya mencoba beberapa metode pengajaran, sehingga anak murid
tidak jenuh.
“ selain
penguasaan materi, kesiapan fisik dan mental juga penting. Anak-anak kadang
gugup juga menghadapi UN itu. Ini juga bisa berakibat fatal nantinya. Tapi kita
berusaha untuk membangun kepercayaan diri mereka. Ini butuh kerjasama dengan
orang tua juga,” ujar Nini menjelaskan.
Pihak sekolah
juga mendatangkan motivator dari Jogyakarta, untuk memberikan motivasi untuk
anak-anak. “ mudah-mudahan ini berhasil membuka pikiran anak-anak, agar mereka
mau berusaha lebih keras lagi untuk mengadapi UN,” tambah Nini.(Gusmarni)
Kamis, 29 Maret 2012
FEATURE_ MERAJUT MIMPI DI ANTARA RONGSOKAN
MERAJUT
MIMPI DI ANTARA RONGSOKAN
Oleh :
Gusmarni Zulkifli
Masih
ingat kah Anda dengan Film Laskar Pelangi? Film yang fenomenal pada 2008 lalu.
Film ini mengisahkan tentang anak pedalaman Bangka Belitung yang memiliki
banyak kegetiran hidup, namun akhirnya bisa berhasil menembus benua Amerika.
Kisah
Ikal dalam film itu, tak jauh berbeda dengan kisah hidup Wulan (12). Kepahitan
hidup telah menempanya untuk menjadi seorang pemulung. Hal ini harus
dilakoninya demi kelangsungan hidup dan kelangsungan sekolahnya.
Bel tanda
pulang sekolah baru saja berbunyi. Suasana SD 001 Seri Kuala Lobam itu masih
tampak riuh. Sebagian siswa-siswanya asyik bersenda gurau menikmati kebebasan
pulang sekolah. Namun ada yang berbeda, seorang siswa dengan seragam lusuh,
tampak buru-buru meninggalkan sekolah.
Namanya Siti Budianingsih Wulandari.
Ia lahir di Teluk Sasah 22 Maret dua belas tahun yang lalu. Terlahir sebagai
anak pertama dari pasangan Budi (33) dan Karmila (53). Hal ini membuat dia agak
berbeda dari anak-anak lain yang seusianya.
Bagi Wulan, pulang sekolah bukan
berarti datangnya waktu bermain. Dia masih harus membantu ibunya bekerja. Tak
hanya pekerjaan rumah, tetapi ia juga harus mengumpulkan barang-barang
rongsokan di daerah sekitar rumahnya.
“ Aku harus bantu mamak nyari
kardus-kardus bekas dan kaleng bekas minuman. Kalau nggak gitu gimana mau
makan, apalagi buat keperluan sekolah”, ujarnya di sela-sela pekerjaannya.
Tangan mungilnya tampak begitu telaten melipat kardus-kardus bekas yang di
ambilnya di depan sebuah toko.
“ Kadang
kepengen juga main sama kawan-kawan, tapi gimana lah ntar ngak ada yang bantuin
mamak.” Ujarnya lagi, dengan wajah yang tak terlihat murung.
Wulan
yang duduk di kelas 6 SD itu, memang gadis yang rajin. Dia tak pernah malu
untuk mengumpulkan barang-barang rongsokan. Meski terkadang kawan-kawan
sekolahnya banyak yang mencemooh.
“
Bapaknya Cuma buruh angkat kayu di hutan. Sebulan sekali baru pulang. Gajinya
ngak nentu. Ini aja dah dua bulan ngak gajian.” Terang ibu Wulan, Karmila (53)
di rumahnya yang terletak di Lobam Bestari kecamatan Seri Kuala Lobam.
Rumah
papan yang berukuran 9 X 7 inilah yang menjadi tempat tinggal keluarga kecil
itu sejak lima belas tahun yang lalu. Atapnya sudah banyak yang bocor, kadang
kalau musim hujan mereka tak punya tempat berlindung.
Nasib
keluarga ini memang malang. Kesulitan ekonomi selalu mengikat mereka. “Saya
mulung sudah lebih kurang lima belas tahun.penghasilan perbulannya, tak tentu.
Kadang dua ratus ribu, kadang seratus lapan puluh ribu. Paling banyak tiga
ratus ribulah. Tapi sekarang sudah susah. Sudah banyak saingan. Saya sering
keduluan mereka.” Ujar Karmila panjang lebar.
ANAK
PEMULUNG YANG INGIN JADI DOKTER
Meski hanya seorang pemulung, Karmila
tetap mementingkan pendidikan untuk kedua anaknya. Dia tak ingin anaknya nanti
mempunyai nasib yang sama sepertinya. Namun sepertinya itu hanya tinggal
harapan saja. Masalahnya di usiannya sekarang Karmila sudah sering
sakit-sakitan. Sehingga dia sudah susah untuk bekerja.
“ Kalau hanya ngandalin gaji bapaknya,
ngak akan cukup. Buat makan aja kurang, gimana buat sekolah anak-anak. Apalagi
sekarang Wulan sudah kelas 6, bentar lagi lulus. Buat nyambung sekolah ke SMP,
duitnya belum ada.” Tambah Karmila dengan logat jawanya yang masih kental.
Wulan seakan faham dengan semua
kesulitan yang dialami orang tuanya. Makanya ia selalu membantu ibunya setiap
pulang sekolah. Bahkan Wulan sudah melakoni kegiatan itu sejak ia duduk di bangu
TK.
Meski pekerjaan itu telah menyita
waktu bermainnya, Wulan tak pernah bersedih. Itu justru membuat hidupnya lebih
dewasa dibanding kawan-kawannya yang lain.
Di sekolah Wulan memang tak terlalu
menonjol. Namun ditengah kesibukannya membantu ibunya mencari nafkah, ia masih
bisa mengantongi rangking 8 pada semester lalu. Ini merupakan suatu prestasi
yang lumayan membanggakan.
“ Aku ngak mau berhenti sekolah. Aku
pengen lanjutin ke SMP N 1 Pasar Baru Tanjung Uban. Pengen sekolah sampai
tinggi. Aku pengen jadi dokter,” ujar Wulan sambil tersenyum ketika ditanya
tentang cita-citanya. Tampak tak ada beban ketika dia mengucapkan hal tersebut.
Cita-cita itu memang sudah
diimpikannya sejak lama. Bahkan sejak ia kenal dengan kata cita-cita. Namun
sepertinya Wulan sangat sadar dengan kondisi keluarganya. Tapi hal itu tak
menjadi penghalang baginya untuk tetap teguh pendirian mengejar cita-citanya.
Dia memang memiliki semangat yang luar biasa.
“ Kalau nanti aku terpaksa putus
sekolah, karena ngak da biaya ya tak apalah. Aku akan kerja lebih giat lagi
biar bisa nyekolahin Rio,” Ujar Wulan penuh haru. Rio (6) merupakan adik Wulan
satu-satunya.
“Aku
harus belajar lebih giat lagi, mana tahu nanti bisa dapat bantuan buat
sekolah.” Ujar Wulan penuh harap. Memang sejauh ini Wulan dan ibunya belum
pernah dapat bantuan kurang mampu. Baik itu dari sekolah, maupun dari pemerintahan
setempat.
“ Kami Cuma dapat bantuan raskin aja.
Bantuan lain-lainnya ngak ada. Kemarin tuh ada orang berseragam dinas datang ke
rumah saya. Katanya mau data untuk dapat bantuan, tapi sampai sekarang pun
belum ada.” Kenang Karmila lagi.
Wulan mungkin hanya satu dari ribuan
anak-anak lain yang harus berjibaku melawan kerasnya hidup. Dan kita hanya
sebagai penonton yang setia.
Dalam
semua keterbatasan Wulan, dia tak kenal putus asa. Dengan segala upayanya dia
tetap ingin melanjutkan sekolah. Akan kah kita biarkan ia tertatih dalam
pencapaian hidupnya seperti ini? Sejauh mana lagi ia mampu bertahan untuk tetap
meraih cita-citanya? Entahlah, mudah-mudahan ada tangan –tangan dermawan yang
sudi berbagi dengannya. Semoga saja. ( Gusmarni_Praktek Jurnalistik)
Rabu, 21 Maret 2012
BADAI HANTAM TEPI LAUT
TANJUNGPINANG-Badai menghantam tepi
laut Tanjungpinang Minggu (18/03).
Sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Angin kencang disertai hujan deras
dan petir yang bersahut-sahutan.
Awalnya kelihatan masih cerah. Tak
ada tanda-tanda akan datang hujan, apalagi badai. “ orang tadi masih cerah kok,
paling Cuma berselang dua puluh menit. Langit gelap, angin kencang bertiup dari
arah laut,” ujar Ujang (26).
Seorang penjual bandrek menyanggah gerobaknya agar tak terbawa angin. |
Menurut penuturan penjual bandrek
satu ini angin kencang seperti ini sudah biasa melanda Tanjungpinang, terutama
tepi laut. “ mungkin karna di tepi laut, jadi anginnya terasa kencang sekali,”
tambahnya lagi.
Badai yang
melanda tepi laut ini memporak porandakan kursi-kursi penjual bandrek di tepi
laut. Namun tak ada kerugian dari bencana ini. “ Biasalah begini, mungkin
factor alam juga kali ya, karena di tepi laut,” terang Ujang sambil merapikan
dagangannya. ( Ani_Praktek Jurnalistik)
Selasa, 20 Maret 2012
FISIK BOLEH KURANG, SEMANGAT TETAP GARANG
Krekkk,
kreeekkk,. Terdengar bunyi pintu di buka dari dalam. Dari kaca pintu terlihat
seseorang membuka pintu dengan menggunakan kakinya. Suasana rumah yang
bernuansa klasik itu, terlihat lengang. Seorang wanita paruh baya, berdiri di
ambang pintu. Perawakannya tinggi, namun di bahunya tampak kosong. Tak ada tangan
terjuntai di sana.
Senyum
ramahnya mencairkan suasana malam itu.
Nihaya baru saja menyelesaikan shalat Magrib. Masih terlihat sisa-sisa
wudhu di wajah ramahnya.
Ruang
tamu rumah tua itu terlihat rapi dan bersih. Di dinding terdapat beberapa
kerajinan yang di buat oleh Nihaya. Misalnya saja rajutan yang bermotifkan
Mesjid Nanggro Aceh Darusalam. Rajutan itu terlihat menawan meski dikerjakan
dengan kaki, bukan tangan.
Nihayah
Binti Abu Bakar (53) Terlahir di Tanjungpinang pada 2 Juni 1959, memang wanita
yang luar biasa. Keterbatasan telah membuatnya kuat. Ia terlahir dengan kondisi
tanpa kedua tangannya, namun hal itu tidak membuatnya gentar menghadapi dunia.
Ia bahkan bisa meraih prestasi melebihi orang yang berfisik sempurna.
Sempat Menjadi Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Riau
Awalnya orang tua Nihaya tidak mau
menyekolahkannya, dengan alasan takut kelak ia akan menjadi bahan ejekan
teman-temannya di sekolah. Namun Nihaya kecil terus membujuk orang tuanya, “
paling mereka hanya seminggu ngejekin saya, nanti mereka juga capek sendiri”
katanya waktu itu. Akhirnya orang tuanya pun menuruti, dia disekolahkan di SD
Negeri 8 Tanjungpinang.
Setelah
menamatkan SD, orang tuanya kembali melarang Nihaya untuk melanjutkan
pendidikan. Menurut mereka waktu itu, sekedar tulis baca saaja sudah cukup,
mengingat kondisi Nihaya yang tidak memungkinkan. Akan tetapi Nihaya
mendaftarkan diri secara diam-diam ke SMP Negeri 2 Tanjungpinang.
“
Sampai kapan saya harus bergantung kepada orang lain, kalau tak sekolah
bagaimana saya bisa mandiri nantinya?” ujar Nihaya menambahkan. Pada 1978, ia
menyelesaikan pendidikan di SMP. Nihayah lalu melanjutkan pendidikannya ke SMA
Negri 1 Tanjungpinang, dan lulus pada tahun 1981.
Dari sana, Nihayah yang haus akan ilmu
mencoba peruntungannya di Pekanbaru. Dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas
Ekonomi dengan jurusan Ekonomi Pembangunan, Universitas Riau (UNRI).
Malang tak dapat ditolak, mujur tak
dapat diraih. Pada semester awal kuliahnya di Pekanbaru, Ayahandanya tercinta
Abu Bakar di panggil Sang Pemilik Hidup. Beliau meninggal ketika Nihaya baru
saja menikmati perannya sebagai mahasiswi, padahal Sang Ayah adalah mata air
kehidupan keluarga serta penyanggah utama ekonominya saat itu.
Setelah kepergian ayahnya, Nihaya
sangat terpukul. Ia terpaksa mengubur mimpi indahnya tentang nikmatnya
pendidikan. Ia memutuskan untuk kembali ke Tanjungpinang, menemani ibu tercinta.
“ Ibu saya mulai sakit-sakitan saat
itu, saya tak tega meninggalkannya, beliau sangat mengkwatirkan saya sendirian
di Pekanbaru dengan kondisi begini. Jadi saya memutuskan untuk meninggalkan
kuliah, meski baru jalan semester pertama,” kenangnya malam itu.
Namun hal itu tidak mengurangi
semangat Nihaya untuk hidup mandiri. Dengan bekal ilmu yang di perolehnya di
UNRI, dia mencoba bisnis jual beli pakaian dan peralatan rumah tangga secara
kredit. Barang itu di belinya di Singapura, dan dijual secara kredit di
Tanjungpinang.
Aktris KEPRI Peraih Nominasi Piala Citra
Rajutan hasil karya Nihaya yang dikerjakan dengan kaki |
Kemudia Galeb merekam aktivitas
keseharian Nihaya. Rekaman itu di ke Jakarta, untuk di tunjukan pada produser.
Alhasil, produser pun tertarik, kemudian Nihaya dibawa ke Jakarta.
Nihaya yang tidak memiliki dasar dunia
acting, mengaku mengalami sedikit kesulitan. Namun karena sifatnya yang pantang
menyerah akhirnya, Nihaya berhasil menjalankan perannya dengan baik. Dan tak
sedikit pujian mengalir padanya.
“ Film pertama itu berjudul Ku Berikan Segalanya. Saya berperan
sebagai Anisa,” kenangnya. Di film itu Nihaya beradu peran dengan artis papan
atas negeri ini, misalnya Rano Karno, Dedi Mizwar, dan Paramitha Rusadi.
Bagi
mereka yang tumbuh pada awal era 1990-an , film ini tentu tidak asing lagi.
Digarap oleh sutradara handal Galeb Husin, film ini berhasil mendapat 12
nominasi Piala Citra. Film ini juga di putar dalam festifal flm internasional
di Singapura, dan memdapat penghargaan “ The Most Humanistic Film 1992” di
Tokyo Jepang.
Setelah
sukses membintangi flm “Ku Berikan Segalanya,” Nihaya terus mengibarkan
sayapnya di dunia seni peran. Dia kembali membintangi film yang berjudul “Bunda
Tersayang”. Film ini diputar secara bersambung di SCTV pada 1996. Setelah itu
Nihaya memutuskan untuk pensiun dari dunia acting.
Mendirikan Taman Pendidikan Al-Quran
(TPA) Al – Hikmah
Kepedulian
Nihaya terhadap pendidikan Al-Quran sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan
kiprahnya mendirikan TPA Al – Hikmah di mesjir Raya Al Hikmah Tanjungpinang
pada 30 Agustus 2009.
Awalnya Nihaya merasa prihatin karena
tidak adanya TPA di salah satu mesjid besar di Tanjungpinang itu. Apalagi
mesjid itu sudah memiliki Taman Kanak-Kanak (TK). “ Sayang jika tidak ada TPA,
kan anak-anak juga butuh itu,” terang Nihaya.
“ Saya ingin anak-anak kita mendapat
pendidikan Al – Quran sejak dini. Hal ini bertujuan agar anak-anak memiliki
kecintaan terhadap Al- Quran,” ujar Nihaya ketika ditanya alasannya mendirikan
TPA Al-Hikmah. Saat ini ada sekitar 121 santri yang belajar di sana.
“ Dari kecil saya memang bercita-cita
jadi guru. Meski tak bisa jadi guru di sekolah, setidaknya saya bisa berbagi
ilmu yang bermanfaat dengan orang lain.” Tambah Nihaya lagi.
Saat ini Nihaya tidak hanya mengajarkan
anak-anak membaca Al-Quran, tapi ia juga memupuk kecintaan anak-anak terhadap
kesenian Marawis. “ kalau anak-anak yang main marawis, itu lebih semangat
mukulnya. Mereka masih fres, dan bersemangat, jadi ngak ada salahnya kita
arahkan” jelasnya.
Selain sibuk di TPA, Nihaya juga menyempatkan diri untuk melakukan
aktifitas social lainnya. Misalnya ketika musim kurban tiba, Nihaya mengerahkan
keluarga besarnya untuk berkurban di perkampungan miskin di sekitar Bintan.
Tidak hanya itu, melalui jaringan keluarga besarnya di Singapura ia juga
menggalang dana untuk membangun mesjid di perkampungan miskin tersebut.
Itulah jejak perjalanan hidup yang
dilukis Nihaya Binti Abu Bakar. Keterbatasan fisiknya tidak menjadi hambatan
untuk maju. Bahkan dari sana kita bisa belajar memanfaatkan hidup dengan baik.
Terkadang dalam ketidaksempurnaan manusia mampu melakukan hal-hal yang belum
tentu mampu dilakukan orang lain. (Ani_Praktek Jurnalistik)
Sabtu, 17 Maret 2012
BUNG TOMO BAKAR SEMANGAT PEMUDA SURABAYA
SURABAYA- Bung Tomo bakar semangat
ribuan pemuda yang memadati lapangan Benteng Surabaya, Jumat (10/10). Dengan semangat
berapi-api dan suara lantang ia menghimbau Pemuda Surabaya untuk membuktikan
pada Tentara Inggris, bahwa Bangsa Indonesia benar-benar ingin merdeka.
Dalam orasinya Bung Tomo menegaskan,
bahwa kita Bangsa Indonesia harus bersatu melawan penjajah. “ Pada pertempuran
lampau, masyarakat Surabaya dan sekitarnya, pemuda Sumatra, pemuda Sulawesi,
pemuda Aceh telah menunjukan satu pertahanan. Kini kita harus bersatu, agar
kita sulit ditembus,” ujarnya seraya tangan mengepal ke udara.
Ribuan pemuda Surabaya semakin
bersemangat ketika teriakan merdeka di lontarkan Bung Tomo. “ Kita ini bangsa
yang besar, tundukkan Kompeni, kalahkan tentara Inggris. Kita harus menjaga
kehormatan Bangsa Indonesia. Tunjukkan pada tentara Inggris, bahwa kita Bangsa
Indonesia benar-benar ingin merdeka. Merdeka atau mati,” tegas Bung Tomo yang
disambut teriakan merdeka Pemuda Surabaya.
Antusias pemuda Surabaya sangat
tinggi. Hal ini terlihat ketika cuaca panas siang itu tak menjadi soal bagi
mereka untuk tetap berdiri di lapangan hingga Bung Tomo usai berorasi. Orasi yang berlangsung satu jam itu, berjalan lancar dan aman. Ketika Bung Tomo selesai berorasi, masa bubar dengan tertip. (Ani_Praktek
Jurnalistik)
WISATA RELIGI BONUS SEJARAH
Mesjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat
Angin semilir menyapa ketika perahu
kecil bermesin yang bernama pompong itu melaju menuju Pulau Penyengat. Sekitar
15 menit perjalanan dari pusat kota Tanjungpinang. Di perjalanan kita bisa
menikmati indahnya laut Tanjungpinang.
Dari jauh sudah terlihat kubah mesjid
Sultan Riau, atau yang biasa disebut mesjid Pulau Penyengat. Suatu pemandangan
yang memadukan antara keindahan alam dan tingginya nilai religi masyarakat
sekitar.
Ketika menginjakan kaki di Pulau
Penyengat, maka kekaguman kita akan semakin tinggi. Terutama pesona Mesjid Sultan
Riaunya, belum lagi keramahan penduduk setempat. Serta beberapa situs sejarah
lainnya yang terdapat di pulau ini.
Mesjid Putih Telur
Pulau Penyengat ini merupakan mas
kawin (mahar) yang di berikan oleh Sultan Mahmudsyah kepada Istrinya Engku
Putri atau Raja Hamidah, pada tahun 1805. Saat itulah awal pembangunan Mesjid
Sultan Riau. Hanya waktu itu bangunannya masih memakai kayu.
Pada masa pemerintahan Yang Dipertuan
Muda Riau-Lingga Raja Abdurahman pembangunan mesjid dilakukan secara
besar-besaran. Saat itu setelah melakukan shalat Ied, 1 Syawal 1284 H (1832 M)
beliau menghimbau masyarakat untuk bergotong royong membangun mesjid Sultan
Riau tersebut.
Semua warga pun berbondong-bondong ,
bahu membahu merenovasi mesjid yang luasnya sekitar 54 X 32 meter itu. Warga
Penyengat juga mengumpulkan bahan makanan untuk pembangunan mesjid.
Salah satu bahan makanan yang di
kumpulkan adalah telur. Karena banyak sisa telur yang tak terpakai, maka oleh
para pekerja putih telur itu dijadikan campuran bahan bangunan. Menurut mereka
putih telur mampu menjaga agar bangunan awet dan tahan lama. Kaarena itulah, Mesjid Sultan Riau sering juga di sebut Mesjid
Putih Telur.
Arsitektur yang Sarat Makna
Mesjid indah nan menyimpan nilai sejarah
ini, arsitekturnya bernuansa ala India. Ini dikarenakan tukang yang membuat
mesjid ini adalah orang-orang india yang
didatangkan dari Singapura.
Mesjid ini mempunyai 17 bubung, angka
17 bermakna jumlah rakaat shalat. Ada 13 kubah berbentuk bawang yang disusun
secara bervariasi. Selain itu terdapat 4 pilat beton dibagian tengah.
Mesjid ini juga memiliki 4 menara
yang tingginya 19 meter. Dulu di menara inilah muazin mengumandangkan azan.
Tapi kini sudah digantikan pengeras suara yang dipasang pada keempat menara
tersebut.
Dibagian luar mesjid terdapat 2 rumah
sotoh, yaitu rumah tempat persinggahan
para musafir. Sedangkan di bagian depan berdiri dua balai-balai yang digunakan
untuk musyawarah.
Saat pertama dibangun mesjid ini
berwarna putih. Namun sekarang sudah di cat dengan warna kebesaran melayu yaitu
kuning, dan dipadukan dengan warna hijau sebagai warna kebesaran islam.
Pada bagian dalam, ruangan mesjid ini
memiliki 5 ruangan. Ini menandakan jumlah rukun iman. Sedangkan 4 tiang beton
yang menyanggah dibagian dalam mengandung makna bahwa Islam memiliki 4 Mazab
yang di yakini. Yaitu; Mazab Hambali, Maliki, Safii dan Hanafi.
Selain itu, 4 tiang beton itu juga
mengandung makna isi gurindam dua belas karya Raja Ali Haji. Yaitu pasal
pertama yang berbunyi, “ Barang siapa
mengenal yang empat, maka dia itulah orang yang ma’rifat”
Mesjid yang berukuran 54 X 32 meter,
dan memiliki bangunan induk seluas 29,3 X 19,5 meter ini tercatat sebagai
mesjid pertama di Indonesia yang memiliki kubah. Hal ini disebutkan dalam 2
kali Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995)
Selain arsitektur yang unik dan
syarat makna, mesjid kebanggaan masyarakat Pulau Penyengat ini juga menyimpan Al
Quran tulisan tangan. Al Quran itu di pajang pada lemari kaca di dalam mesjid.
Al Quran bersejarah itu, di tulis oleh putra Pulau Penyengat yaitu Abdurrahman
Stambul. Ia dikirim untuk belajar agama ke Turki pada 1867.
Selain Mustaf yang di tulis oleh
Abdurrahman, ada lagi Mustaf Al Quran tulisan tangan Abdullah Al Bugisi yang di
tulis pada 1752. Mustaf ini memiliki keunikan, yaitu pada bingkainya terdapat
tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Al Quran dalam bahasa melayu.
Sayangnya, Al Quran itu, sudah tak
dapat di perlihatkan lagi, karena sudah terlalu rapuh dan rentan kerusakan. Ia tersimpan
rapi dalam lemari di sisi kanan depan mesjid. Dalam lemari ini juga terdapat
300-an kitab, termasuk kitab kuning.
Mesjid Sultan Riau memang menyimpan
nilai sejarah yang luar biasa. Mengunjungi mesjid ini, selain bisa menanam
pahala, kita juga bisa menilik sejarah Pulau Penyengat yang menarik untuk di ketahui. (Ani_Praktek Jurnalistik)
Langganan:
Postingan (Atom)